Pemilihan Pimpinan di Lembaga Pendidikan sudah tidak Kompetitif (Bagian 1)
Pemilihan Pimpinan di Lembaga Pendidikan sudah tidak Kompetitif (Bagian 1)
Begitulah adanya. Manakala di perguruan tinggi hendak ada pemilihan rektor baru, di sekolah-sekolah di setiap tingkatan, termasuk yang telah menjadi budaya di banyak organisasi, di mana mekanisme pemilihan pimpinannya telah rusak dan tidak kompetitif lagi. Masalah klasiknya apa? Naik jabatan berarti naik gaji, naik juga status sosial dan siap-siap akan dianggap jadi orang penting. Segala cara pun dihalalkan, yakni main jalan pintas birokrasi dan main sogok. Seleksi pimpinan yang ada pun sekadar formalitas.
Mau apa kalau sudah begitu? Mari kita ambil contoh pemilihan rektor sebuah perguruan tinggi misalnya. Yang menjadi rektor itu pasti ada “sesuatunya.” Telah direncanakan sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Indikator rektor yang akan terpilih adalah ia yang punya kedekatan dengan Menteri terkait, ada saudara atau ada rekanan kerja di birokrasi Kementerian tersebut. Berikutnya kesamaan organisasi, selain juga jejaring pertemanan sosial. Sudah dipastikan ia pasti jadi rektor. Sehingga jika misalnya ada seorang dosen yang kualifikasinya memenuhi sebagai calon rektor, sehebat apa pun ia, tetapi tidak punya ambisi curang, kedekatan birokrasi dan jejaring, tetap tidak akan bisa menjadi rektor.
Fatalnya lagi orang-orang di bawah rektor, para dosen dan lain sebagainya, mereka ini juga sudah ancang-ancang dari jauh-jauh hari. Bagaimana ia juga menempati jabatan yang strategis, mulai dari wakil rektor, dekan, sampai ketua jurusan hampir semuanya rebutan. Jabatan-jabatan itu bisa dipesan dan dipersiapkan jauh-jauh hari. Bahkan orang-orang yang telah menduduki jabatan tertentu di kampus, tetapi di saat yang sama tidak punya kedekatan emosional, berlainan afiliasi organisasi dan lain-lain, pasti akan digeser.
Lembaga pendidikan ternyata mempraktikkan perilaku yang tidak mendidik. Jangan aneh jika kemudian iklim intelektual di banyak perguruan tinggi tidak bergairah. Sebab yang ada hanya kerja rutin dan formalitas kampus. Bahkan kerja intelektual seperti menulis skripsi, tesis dan disertasi, tak terkecuali penulisan riset ilmiah, sudah bukan barang baru, jika praktiknya penuh dengan muslihat dan plagiat. Menjadi dosen di kampus orientasinya justru berebut jabatan, karena berebut jabatan setali tiga uang dengan berebut pundi-pundi uang.
Wallahu a’lam
Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah, 10 November 2022, 16.36 WIB