Soal Membaca Dan Menulis
Seperti apa yang diungkapkan Buya Syafii tokoh besar Muhammadiyah “gemar membaca buku, dan jangan biarkan hidup tanpa membaca buku”. Buku adalah sekumpulan kertas yang tersusun, berjilid yang isinya meliputi tulisan, dan gambar. Yang setiap isinya adalah buah penulis itu sendiri dan kita sebagai pembaca mampu menyerap sari dari gagasan apa yang kita baca pada buku tersebut.
Dewasa ini, kurangnya minat baca dalam masyarakat kita yang sebenarnya kegiatan membaca itu adalah roh bagi setiap pribadinya, jauh dari buku berarti juga jauh dari membaca. Meski di zaman sekarang yang teknologinya semakin canggih sehingga soal buku bukan ia yang berwujud kotak, yang menumpuk jika kita menyimpannya atau sedikit berat dirasa jika membawanya. Tetapi buku berbentuk file word sudah banyak dan mudah kita akses. Memang soal membaca juga soal kenyamanan, sekarang beberapa orang lebih suka membacanya pada telepon genggamnya masing-masing di samping mampu mengurangi hemat kertas, buku berbentuk file ini juga tidak merepotkan dan tergolong praktis.
Tidak bisa dipungkiri, dari semua itu soal buku baik yang berwujud atau tidak (berbentuk file word) soal membaca adalah santapan yang sebenarnya kita sekurang-kurangnya tidak boleh juah dari kegiatan tersebut, ini berlaku juga pada setiap manusia.
Membaca juga sebagai perintah Allah SWT kepada Nabi kita Muhammad SAW yang turunkan lewat Malaikat Jibril seketika bulan suci Ramadhan sebagai wahyu pertama Al-Qur’an iqra’ bacalah disadari perintah itu tidak hanya ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW, tetapi juga untuk umat manusia seluruhnya. Demikian perintah membaca merupakan perintah paling berharga yang pernah dan yang dapat diberikan kepada umat manusia. (M. Quraish Shibab dalam Lentara Hati)
Para tokoh besar kita seperti Moh Hatta yang koleksi bukunya bertumpuk-tumpuk sesampainya ia menulis sebuah buku Pemikiran Alam Yunani untuk dijadikan sebagai mahar perkawinan, ada juga Tan Malaka pria kelahiran Pandanm Gadang 2 Juni 1897 sebagai pahlawan kemerdekaan yang juga banyak bukunya diantaranya adalah Madilog buku setebal 560 halaman, dalam menulis ini ia tidak melihat referensi buku secara real gamblang saja secara hafal, ada sesuatu yang terjadi sehingga karena dia saking cintanya terhadap buku saat intrik dengan serdadu Jepang ia melemparkan beberapa koleksi bukunya di sebuah gubangan air hanya demi menyelamatkan bukunya tersebut, meski sadar bahwa air dapat mengoyak dan memakan kertas. Tetapi ia lakukan demi bukunya.
Atau kita kenal Bung Pram alias Pramoedya Ananta Toer semasa Orde Baru yang tulisannya selalu mewarnai awak media dan lahirlah banyak buku hingga sampai beberapa negara menerjemahkan karya tulis beliau, tertulis 50 judul buku dan masih banyak lembaran-lembaran kertas yang memuat tulisannya. Dan dari sekien banyak karya yang paling mengguncangkan jagat adalah Sereal Tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari empat buku yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, dan masih banyak lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Membaca Sebagai Jendela Dunia
Hingga pada masa ini, diantara kita juga masih menikmati bacaan-bacaan karya anak bangsa yang sudah saya sebutkan di muka. Perihal menulis berarti juga membaca. Sudah barang tentu para tokoh kita juga terlahir dari membaca yang setiap langkahnya tidak jauh dari itu, membaca juga melahirkan banyak ilmu, dan pemikiran maka dari itu istilah membaca juga acap kali kita dengar sebagai jendelanya dunia,
sebenarnya saya pribadi memaknai membaca bukan hanya mengeja huruf demi huruf, tetapi melihat dan memaknai apa yang ada di sekitar kita dan itu cukup untuk menggugah respon menjadi laku yang lebih baik, seperti halnya jika melihat seseorang yang sedang kesusahan maka kita diperkenankan untuk mengulurkan tangan dan membantunya. Atau masih banyak lainya yang mana intinya adalah kesadaran diri.
Akhir-akhir ini kebiasaan membaca mulai lapuk dan pudar diantara kita, memang tidak semua tetapi tidak sedikit juga yang ia tidak membaca, apalagi budaya untuk berdiskusi pun kini mulai redup, entah mengapa apakah terlalu di manja oleh dunia yang serba tekhnologi seperti halnya gadjet pintar yang mampu membuat kita lalai untuk membaca.
Sebenarnya saya tidak melarang akan hal ini, membaca atau tidak itu bukan urusan kita tetapi apa salahnya jika saya mau mengucapkan gusaran-gusaran dalam hati mengenai fenomena ini, bukanya kita berjalan di atas kaki kita sendiri, melihat sesuatu dengan kepala kita sendiri, tetapi apa boleh buat jika dulu kebiasan para tokoh yang hebat tidak kita jadikan sebagai peninggalan untuk mewariskan diri agar mengikutinya yakni cinta terhadap buku dan membaca.
Suatu bangsa dilihat dari penghuninya dan setiap orang dilihat dari manusianya, peradaban dunia dibentuk oleh membaca dan menulis, dan sesuatu yang di baca menunjukkan sejauh mana kita terjun ke dalam dunia baca tersebut.
Atau sekarang kita juga banyak mengenal tulisan dari berbagai tokoh kontemporer pasca kemerdekaan sampai pada saat ini dan itu berbagai genre, ini cukup menjadi tolak ukur gerakan kita sebagai mahasiswa kita tinggal pilih arah mana yang kita tapaki, apa hanya diam saja atau bergerak sejadi-jadinya. Bagaimana bisa seorang mahasiswa dikatakan agen of change jika saja pergerakan dalam hal ini membaca, tidak mau kita lakukan. Ini pr besar khususnya saya pribadi.
Membaca dan Menulis oleh Ulama
Mengenai membaca dan menulis pemuka Agama kita juga terlebih Ulama Nusantara beliau juga banyak menghasilkan karya tulis yang sampai saat ini dijadikan kurikulum di setiap pesantren, seperti Al-Kirom Syekh Kholil Al-Bangkalni, Sykeh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ihksan Jampes, Sykeh Yusuf Al-Fadani, Syekh Abdul Somad Palimbani, Sykeh Mbah Hasyim As’yari, Syekh Ahmad Dahlan dan masih banyak lainya yang beberapa karya dari Ulama kita dikaji juga oleh Ulama dunia. Ini cukup panjang jika dijabarkan di sini ya paling tidak dari apa yang sudah saya tulis tadi mampu mendobrak kita khususnya diri saya sendiri untuk beranjak bangun dan segara mencintai dunia membaca dan menulis. Aamiin.
Tidak berhenti di sini, Dalam hal ini, saya pernah membaca suatu kisah Ulama salaf adapun kisah Abu Diyat Aljad, seorang kutubuku yang hidup 1000an tahun silam yang karena sangking cintanya pada baca buku, sampai-sampai ia menyewa seorang sahaya untuk membacakan buku saat Aljad buang hajat di kakus. (Perlu diketahui, membaca buku sendiri di kakus dianggap tidak sopan, suul adab). Si sahaya harus membacakan bukunya keras-keras dari luar kakus supaya Aljad bisa mendengarkan, lalu Aljad menikmati bacaan si sahaya sampai ia keluar kakus dan melanjutkan bacaannya sendiri. Lama-lama, si sahaya juga ikutan jadi orang alim dan intelek lantaran virus gila baca Aljad. Beberapa kabar mengatakan, Aljad tidak menikah dengan manusia, tapi dengan buku, dengan ilmu. Wallahua’lam
Itu karena saking cintanya terhadap membaca, dahsyat bukan?. Gumam dalam hati, semoga saja, kita sebagai generasi bangsa mampu meneruskan kebiasaan para tokoh kita dalam hal ini membaca dan menulis, tidak berhenti di sini juga semoga kita sebagai murid yang kecil, mampu mendapatkan keberkahan dati sekian banyaknya Tokoh dan Ulama kita. Amiin.
Cirebon, September 2022
Hadad Fauzi Musthofa